BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra Angkatan 21 atau sering disebut dengan sastra
mutakhir (Dekade 90-an dan Angkatan 2000-an). Pada masa Angkatan 2000
ini banyak sekali muncul pengarang wanita. Mereka umumnya menulis dengan
ungkapan perasaan dan pikiran yang tajam dan bebas. Ada diantara mereka yang
sangat berani menampilkan nuansa-nuansa erotik, hal-hal yang sensual bahkan
seksual, yang justru lebih berani dibandingkan para sastrawan seumumnya.
Adapun para sastrawati Angkatan 2000 antara lain: Ayu Utami,
Jenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, Herlinaties, Nukila Amal, Linda Kristianti,
Ratih Kumala, Oka Rusmini, dan lain-lain. Ada beberapa poin yang terkandung unsur estetik:
a) Unsur
eksperimental hampir ada di setiap naskah realis ataupun surealis. b) Penyampaian
makna bersifat simbolik, terkadang menggunakan teknologi. c)Percampuran
nilai estetik periode-periode sebelumnya. d) Monolog menjadi
pilihan yang cukup kuat. Terdapat juga pada unsur ekstra estetik: a) Kemajuan teknologi. b) Mencuatnya
isu-isu global, baik dalam bidang seni maupun umum. c) Ironi terhadap diri sendiri
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Siapa sajakah penyair atau pengarang puisi abad 21?
1.2.2 Siapa sajakah penulis atau pengarang abad 21?
1.2.2 Siapa sajakah penulis atau pengarang abad 21?
1.2.3
Siapa
sajakah pengarang cerpenis Abad 21?
1.3 Tujuan Perumusan
1.3.1 Untuk mengetahui penyair atau pengarang puisi
abad 21.
1.3.2 Untuk mengetahui penulis atau pengarang abad
21.
1.3.3 Untuk mengetahui pengarang cerpenis abad 21.
BAB
II PEMBAHASAN
Sastra Angkatan 21 atau sering disebut dengan sastra
mutakhir (Dekade 90-an dan Angkatan 2000). Sebuah buku tebal tentang Angkatan
2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis,
novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000. Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana
tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000".
2.1 Penyair atau Pengarang Puisi
Angkatan 21
2.1.1 Afrizal Malna
a. Puisi Yang Berdiam dalam Mikrofon (1990).
2.1.2 Emha Ainun Najib
a. Sesobek Buku Harian Indonesia.
2.1.3 D. Zawawi Imron
a. Madura, Akulah Darahmu (1999)
2.1.4 Wiji Thukul Wijaya
a. Mencari Tanah Lapang (1994)
b. Tumis Kangkung Comberan (1996).
2.1.5 Joko Pinurbo
a. Telepon Genggam (2006).
2.1.6
Agus
R. Sarjono
a.
Keduri
Air Mata(1994)
b.
Malam
Seribu Bulan (1991)
c.
Mimbar
Penyair Abad 21(1996).
A. Ciri-Ciri
Puisi Angkatan 21
1. Pilihan kata diambil dan bahasa
sehari-hari yang disebut bahasa “kerakyat jelataan”;
2. Mengandung revolusi tipografi atau
tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkret;
3. Penggunaan estetika baru yang
disebut “antroporisme” (gaya bahasa berupa penggantian tokoh manusia sebagai
“aku lirik” dengan benda-benda;
4. Penciptaan interaksi masal dan hal-hal
yang bersifat individual;
5. Puisi-puisi profetik (keagamaan/religius)
dengan kecenderungan menciptakan pengembaraan yang lebih konkret melalui alam,
rumput atau daun-daun;
6. Selaras dengan bentuk tipografi
baru, banyak diciptakan puisi dengan corak bait atau ‘nirbait’ (tidak menggunakan
sistem pembuatan bait-bait);
7. Penggunaan citraan alam benda.
2.2 Penulis dan Pengarang Karya Sastra Angkatan 21
a.
Garis Tepi Seorang Lesbian (2003)
b.
Dejavu, Sayap yang Pecah (2004)
c.
Jilbab Britney Spears (2004)
d.
Sajak Cinta Yang Pertama (2005)
e.
Malam Untuk Soe Hok Gie (2005)
f.
Rebonding (2005)
g.
Broken Heart, Psikopop Teen Guide
(2005)
h.
Koella, Bersamamu dan Terluka (2006)
i.
Sebuah Cinta yang Menangis (2006)
Secara umum,
ciri pencapaian estetik teks drama tahun 2000 adalah:
1. Unsur estetik
a. Unsur
eksperimental hampir ada di setiap naskah realis ataupun surealis.
b. Penyampaian
makna bersifat simbolik, terkadang menggunakan teknologi.
c. Percampuran
nilai estetik periode-periode sebelumnya.
d. Monolog menjadi
pilihan yang cukup kuat.
2. Unsur ekstra
estetik
a.
Kemajuan
teknologi.
b.
Mencuatnya
isu-isu global, baik dalam bidang seni maupun umum
c.
Ironi terhadap
diri sendiri
2.3 Pengarang
Karya Sastra Angkatan 21
Cerpenis tidak diperlakukan sebagai orang yang sedang
belajar menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:
Pertama, kesemarakan media massa –suratkabar dan majalah-
telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya.
Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama
pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar minggu, ia seperti
sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan menyapa para
pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.
Kedua, adanya kegiatan lomba menulis
cerpen, memungkinkan cerpen tidak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada
event atau peristiwa tertentu. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru
dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya.
Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.
Ketiga, terbitnya Jurnal Cerpen yang
diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan
berkala dalam dua tahun sekali di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung
(2003), dan kongres di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra
cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan
keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu,
usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk diterbitkan,
memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan
sebelumnya.
A. Sastrawan yang Penting di Indonesia
1.
Teguh
Winarsho (Bidadari Bersayap Belati, 2002),
2.
Hudan
Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003),
3.
Maroeli
Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003),
4.
Satmoko
Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003),
5.
Mustofa
W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004),
6.
Kurnia
Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004),
7.
Moh.
Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004),
8.
Yusrizal
KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004),
9.
Isbedy
Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004),
10.
Triyanto
Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003),
11.
Damhuri
Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005).
Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam
tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Yaitu:
1.
Oka
Rusmini (Sagra, 2002),
2.
Djenar
Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main dengan Kelaminmu,
2004),
3.
Maya
Wulan (Membaca Perempuanku, 2002),
4.
Intan
Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005),
5.
Nukila
Amal (Laluba, 2005),
6.
Weka
Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004),
7.
Labibah
Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005),
8.
Ucu
Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005).
Pendatang baru cerpenis muda muncul tiga orang yang
menjanjikan, seperti:
1. Eka Kurniawan
a. Cerpen Corat-Coret di Toilet (2000).
b. Cantik itu Luka (2002).
c. Lelaki Harimau (2004).
d. Cinta tak Ada Mati (2005).
2. Azhari
a. Yang Dibalut Lumut.
b. Perempuan Pala (2004).
3. Raudal Tanjung Banua
a. Pulau Cinta di Peta Buta (2003).
b. Ziarah bagi yang Hidup (2004).
c. Parang tak Berulu (2005).
d. Cerobong Tua Terus Mendera (2004).
BAB
III PENUTUP
3.1
Simpulan
Sastra Angkatan 2000 atau sering disebut dengan sastra
mutakhir (Dekade 90-an dan Angkatan 2000). Pada masa
angkatan 2000 ini banyak sekali muncul pengarang wanita. Mereka umumnya menulis
dengan ungkapan perasaan dan pikiran yang tajam dan bebas. Ada diantara mereka
yang sangat berani menampilkan nuansa-nuansa erotik, hal-hal yang sensual
bahkan seksual, yang justru lebih berani dibandingkan para sastrawan seumumnya.
Ciri-Ciri Puisi Angkatan 21
1. Pilihan kata diambil dan bahasa
sehari-hari yang disebut bahasa “kerakyat jelataan”;
2. Mengandung revolusi tipografi atau
tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkret;
3. Penggunaan estetika baru yang
disebut “antroporisme” (gaya bahasa berupa penggantian tokoh manusia sebagai
“aku lirik” dengan benda-benda;
4. Penciptaan interaksi masal dan
hal-hal yang bersifat individual;
5. Puisi-puisi profetik
(keagamaan/religius) dengan kecenderungan menciptakan pengembaraan yang lebih
konkret melalui alam, rumput atau daun-daun;
6. Selaras dengan bentuk tipografi
baru, banyak diciptakan puisi dengan corak bait atau ‘nirbait’ (tidak
menggunakan sistem pembuatan bait-bait);
7. Penggunaan citraan alam benda.
3.2
Saran
Sebagai
mahasiswa di perguruan tinggi, terutama sebagai mahasiswa jurusan Bahasa
Indonesia. Dengan lahirnya makalah ini semoga dapat
membantu mahasiswa untuk memperoleh informasi tentang sastra serta untuk memperdalam
mempelajari bahasa Indonesia tentang Sastrawan Abad 21 dengan mata kuliah “Sastra Kontemporer” sangat penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar